Komisi X Tanyakan Masalah Otonomi Pendidikan Di Kalsel
Komisi X DPR RI mempertanyakan permasalahan apa yang dihadapi sehubungan dengan diberlakukannya otonomi pendidikan khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Menurut Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Golkar Popong Otje Djunjunan, banyak kalangan mengatakan otonomi pendidikan harus dikaji kembali. Bahkan dalam sebuah lokakarya yang membahas masalah otonomi pendidikan, hasil lokakarya tersebut semua mengatakan khusus untuk otonomi di bidang pendidikan memang perlu dikaji kembali.
Terhadap kenyataan tersebut, Popong menanyakan pendapat Gubernur Kalsel terkait otonomi pendidikan ini dan kendala-kendala apa yang dihadapi provinsinya sehubungan dengan otonomi pendidikan.
Pertanyaan itu disampaikan Popong saat Komisi X DPR mengadakan pertemuan dengan Gubernur Kalimantan Selatan dan jajarannya, Senin lalu, yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Asman Abnur.
Terkait dengan permasalahan otonomi pendidikan, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) September lalu, di Jakarta, merekomendasikan kepada pemerintah agar otonomi pendidikan dikembalikan kembali ke pusat.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum PB PGRI Sulistiyo menilai setidaknya dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini terjadi banyak persoalan di dalamnya.
Persoalan yang dimaksud di antaranya adalah pengadaan guru, rekruitmen dan penempatannya, kesejahteraan (khususnya guru non PNS), perlindungan dan jaminan hidup para guru di hari tua.
PB PGRI meminta DPR dan DPD agar di dalam Undang-undang Pemerintah Daerah, otonominya dapat dikurangi, yaitu mengembalikan pendidikan kepada pemerintah pusat.
Menanggapi persoalan otonomi pendidikan, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin mengatakan, dia melihat otonomi pendidikan sangat mendasar menyangkut pengelolaan anggaran cukup besar untuk pendidikan yang sudah disediakan oleh APBN.
Namun tentunya, otonomi pendidikan memerlukan satu pengaturan yang sebaik-baiknya, misalnya apa yang lebih dibutuhkan di suatu daerah, apakah SMA atau SMK. “Di sini harus ada link matchnya kalau yang dibutuhkan SMK sebaiknya yang diperbanyak SMK bukan SMU nya,” kata Rudy.
Oleh karena itu dia berharap bahwa dalam implementasi otonomi pendidikan, perencanaan daerah lebih mendominan karena ada need assessment yang dilakukan terlebih dahulu.
Dia kembali mencontohkan, awalnya satu-satunya universitas yang memiliki Fakultas Kehutanan hanya di Universitas Lambung Mangkurat. Siswa siswi lulusan SMA baik dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat banyak yang masuk di fakultas ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, Kaltim dan Kalbar membuka juga Fakultas Kehutanan, sehingga mahasiswa Fakultas Kehutanan di Universitas Lambung Mangkurat turun drastis.
Melihat kondisi ini, diperlukan pengaturan misalnya Kalsel perkuatannya dimana apakah tanaman pangan, apakah perikanan dan sebagainya. Jadi di sini tidak terjadi saling berlomba antara universitas yang satu dengan universitas yang lain di Kalimantan.
“Jadi inilah salah satu penyebabnya mengapa penduduk di Kalsel naik tapi mahasiswa mengalami penurunan untuk program-program studi tertentu,” katanya.
Rudy menambahkan, disinilah pentingnya pengaturan itu dalam otonomi pendidikan, sehingga tidak terjadi saling berebut antara universitas yang satu dengan universitas yang lain. Tentunya perlu diingat, dana yang telah dikeluarkan untuk membuka satu fakultas sangat besar, dan kita ingin mutu tetap dapat terjaga, begitu juga pemerataannya.
Dia juga berharap, otonomi pendidikan memberikan suatu kebijakan dimana satu daerah mengembangkan pendidikan-pendidikan unggulan masing-masing sampai ke perguruan-perguruan tinggi. (tt)